.. ''Aku segera menarik sarung dari lemari. Seperti yang telah diajarkan Kak Is, dengan cepat aku langkahkan kaki ke tengah bulatan sarung, dan aku angkat ujung sarung setinggi dada. Bagian yang bergaris-garis lebih gelap aku atur supaya berada di belakang badan. Bagian atas dilipat sedikit di dalam untuk menyesuaikan dengan tinggi badan.
Wrt..wrt.. hap. Sambil melentingkan badan sedikit ke belakang aku ayunkan kedua tangan bergantian dengan cepat untuk melipat ujung sarung, pas di depan dada. Beberapa saat aku gunakan untuk memadatkan lipatannya dan memastikan ujung bawah rapi rata kiri kanan dan ujung baju masuk ke dalam sarung.
Begitu semua terasa pas, mulai sku gulung ujung sarung dari atas sampai setinggi pusar. Sejenak, aku cek lagi kalau semuanya telah rapi dan licin, tidak ada gombak dan kusut.
Prosesi ini aku tutup dengan melingkarkan ikat pinggang di atas gulungan tadi. Rapi jali. Ujungnya simetris , kuat, tidak ada riak dan lembang yang berarti. Benar-benar sarung yang gagah.
Semua kulakukan dalam hitungan detik. Dengan tekhnik ini sarung ini menempel di badan seperti dilem. Diajak lari dan ditarik-tarik pun, sarung tetap utuh dan kokoh...''
Pernah membaca kutipan di atas? Pastilah,, itu adalah cuplikan Novel 5 Menara, ketika alif memasang sarungnya.. di tengah rutinitas kegiatan di pondok Madani (Gontor).
Walau pun di Pondok Modern, sarung tidak bisa dipisahkan dari kehidupan santri, meski tidak seakrab santri pesantren tradisional yang kesehariannya tidak bisa di pisahkan dari yang namanya sarung.
Dulu, waktu umur 10 tahunan, aku masih terbiasa memakai celana panjang untuk sholat di Musholla, sudah menjadi adat di kampung kami, orang sholat lebih sopan bila memakai sarung, beda dengan celana panjang, dianggap kurang etis, kecuali untuk anak-anak atau orang yang sedang bepergian atau bekerja. Ketika itu aku bertekad kalau sudah umur 15 tahun nanti, aku akan membiasakan bersarung kalau sholat berjamaah, akhirnya sebelum masa itu aku membiasakan bersarung di rumah agar terbiasa bersarung tidak canggung ketika ke musholla. Apalagi nasibku membawaku bersekolah pesantren, jadilah kebersarunganku tidak istimewa lagi, karena sehari-hari menjadi seragam sekolah.
Sarung, jenis kain multifungsi, bentuknya memanjang, dijahit dua ujungnya sehingga berbentuk silinder, selain untuk sholat juga dapat digunakan tergantung situasi, bisa untuk selimut, atau bahkan jadi sayap superman,,,hehe
Sarung, sudah menjadi ciri khas masyakat Muslim di Indonesia, lebih khusus lagi kaum santri sampai-sampai identik dengan kaum sarungan. Padahal sebenarnya, sarung bukanlah berasal dari Indonesia. Menurut sejarahnya, sarung berasal dari negeri Yaman di sana disebut futah, dibawa ke berbagai negara melalui saudagar/pedagang Arab yang sekaligus pendakwah, termasuk ke Indonesia. Inilah mengapa fahaman mayoritas Muslimin di Indonesia, khususnya lagi kaum sarungan, ada banyak kesesuain dengan Yaman (Hadromaut), karena selain sarungnya, ajaran Islamnya pun mereka ambil dari sana. Selain di Indonesia, masyarakat muslim India juga akrab dengan sarung, karena memang, penyebar Islam di sana juga satu jalur.
Di Indonesia, beribadah atau menghadiri kegiatan keagamaan, dianggap lebih sopan kalau bersarung, tahlilan, burdahan dan solawatan, sarung adalah pasangan baju koko. Sholat, hampir seperti wajib pakai sarung, entah karena simpelnya, dan memang terlihat gagah memakainya.
Selain baju koko, sarung juga cocok dengan atasan jas, tidak kalah dengan pejabat, seorang kiayi walau dengan bawahan sarung, tetap gagah bahka lebih berwibawa dibanjing pejabat dengan jas dan celana panjangnya. Apalagi, sekarang sarung bermacam-macam corak dan warna, indah dipandang, tentu dengan harga bermacam-macam pula.
Mungkin, sarung Samarinda adalah sarung termahal, karena sarung jenis ini sarung tenun tangan asli, coraknya sangat khas, harganya ratusan ribu. Di kampungku, para mempelai pria biasanya memakai jenis ini di masa-masa jadi pengantin baru.
Seiring perkembangan industri sarung, yang dimulai sekitar 1970an dengan merek Gadjah Doedoek, sarung Samarinda mulai kalah bersaing, apalagi harganya jauh berbeda. Selain murah, coraknya pun bermacam-macam, sehingga tidak heran sarung produksi mesin menguasai pasaran. Selain di dalam negeri pasaran sarung Indonesia juga merambah negeri lain, bahkan di negeri asal sarung, sarung produksi indonesia lebih populer digunakan sehari-hari.
Sarung telah menjadi ikon budaya umat Islam di Indonesia khususnya pesantren. Di masa kemerdekaan, sarung menjadi semacam perlawanan umat Islam terhadap penjajah dan kebudayaan yang dibawanya. Pernah suatu ketika KH. Abd. Wahhab Hasbulloh tokoh NU, pejuang kemerdekaan, diundang presiden Soekarno ke Istana, oleh protokol beliau diminta memakai jas berdasi dan celana. Namun beliau lebih memilih memakai baju jas plus sarungnya, beliau lebih memilih keIndonesiannya, dibanding mementingkan sebuah penampilan, apalagi berpakaian ala penjajah.
Begitulah, sarung adalah sarung, khas kaum santri, jangan mengaku santri kalau tidak biasa bersarung,, he he.. Tapi yang penting, 'sarung'i juga otak dan hatimu..
Wee, ga kalah sama fotomodel.. hihihi
Gini lo... cara orang India makai sarung.. :)
#Salam sarung..
Cempaka, 27 April 2013..
Semoga bermanfaat..
Belum ada tanggapan untuk "Sarung, indentitas keSantrian"
Posting Komentar