Sepatu hitamku.
Masihkah kau ingat,
Hari itu,
Tanpa malu, kulangkahkan dikau,
Bersama celana panjang berwarna biru,
Serta seragam putih berlengan panjang,
Kubiarkan ia berontak keluar, yang biasanya rapi ke dalam, bagai pemain bola pengganti, masuk lalu dikeluarkannya begitu saja....
Gedung tinggi 2 lantai bediri megah,
Ratusan jendela terbuka, tanpak ramah menyapa,
menyambut insan-insan mulia,
Para calon Imam, khatib, dai, dan pemimpin agama di daerahnya,
Para calon mantu idaman, he he (narsis.com)..
Hari itu adalah hari pertamaku menjejakkan kaki di sebuah pesantren ternama di Kalimantan, pesantren yang telah mencetak ribuan ulama, dai dan tokoh agama,
Tekadku sudah bulat, aku tidak ingin melanjutkan pendidikan formalku, walaupun secara akademi pencapaianku tergolong baik, bahkan terbaik (ranking 1 dari seratusan siswa) di Mts Negeri Model di Martapura. Hatiku sudah yakin, cita-citaku sudah mantap, ingin mengukir namaku di buku induk Pondok Pesantren Darussalam Martapura.
Terasa jenuh sudah, mendengar ilmu-ilmu yang semakin menjauhkanku dari Sang Pencipta, memang sudah terlalu jauh tersesat dari jalurku, Ayahku yang seorang tokoh Agama di kampung, masa anaknya bersekolah di sekolah umum?
Memang tidak ada salahnya sebenarnya, tapi hatiku sudah menemukan titik baliknya, ingin banting setir dan menemukan kembali naluriku yang sudah lama tertanam, aku ingin jadi orang berilmu.
Setiap ada kesempatan, terutama di masa kelas 3 MTs, aku selalu ikut menghadiri pengajian di Sekumpul, alangkah tenangnya bathin, apalagi ketika beliau begitu mendorong seseorang untuk menjadi orang alim, sangat berbekas di hatiku dan membuatku merenung, untuk apa prestasi akademis? Lebih baik ku pergunakan kepintaran anugerah Tuhan di diriku untuk Agama. Lebih menohok hati, ketika pengajian yang menggunakan kitab berbahasa Arab, aku malah menggunakan terjemahan huruf latin, sungguh terasa bodoh sekali.
sumber foto : FP PPD
Hari itu, setelah pengumuman kelulusan, disertai syukur yang mendalam bagi yang lulus, sabar yang harus ditanam bagi yang tertunda, aku bersama 2 temanku satu alumni, menuju Pesantren yang kuidamkan. Sebenarnya kami berharap didaftarkan oleh paman dari temanku yang menjadi penjaga wartel milik Pondok, tapi beliau malah menyuruh kami langsung menuju tempat pengambilan formulir. Baik, tidak kuperdulikan pandangan orang (perasaanku saja mungkin).. dengan seragam putih MTs, celana biru bersepatu, rambut terbuka tanpa peci, berbeda jauh dengan calon santri lain yang berpeci putih, rapi bersarung, bersahaja tampak ceria.
Biarlah, jangan jadi alasan menundanya, karena menunda-nunda kebaikan itu salah satu jalan syaithon mengganggu manusia, siapakah yang berani menjamin umurku akan sampai ke hari esok, bahkan ke satu jam kedepan? Barangkali jika umurku habis hari ini, niatku sudah sampai dan tercatat sebagai penuntu ilmu agama, bukankah orang yang meninggal ketika menuntut ilmu itu dicatat sebagai syahid?
Tuan Guru yang bertugas, menyambut ramah dengan kami, rupanya kami tidak bisa langsung diterima, karena persyaratan belum lengkap, pas foto tidak dibawa, ijazah belum ada, dan satu lagi yang tidak aku duga surat kelakuan baik, waduh....
Ternyata tidak segampang yang dibayangkan, keinginan menjadi santri sebuah Pesantren besar. Kami pun pulang, aku berjanji dengan dengan salah satu temanku, beberapa hari ke depan mendaftar bersama-sama, sementara temanku yang satunya karena rumahnya dekat, lebih memilih mendaftar sendiri.
Selamat datang di Darussalam
Negeri kedamaian
Cempaka, 03 Mei 2013
#Ahmad Athoillah (alumni 2011)
Follow : @Assakandary
Belum ada tanggapan untuk "Awal aku ngeNyantri"
Posting Komentar